Mendefinisikan (Kembali) Peran Indonesia di Dewan Keamanan PBB: Penjelajahan Teoretikal dan Praktikal Dalam Mewujudkan Perdamaian
Abstract
Pada awalnya kemunculan beragam organisasi dan rezim internasional -yang diyakini sebagai resultansi sekaligus ejawantah pemikiran dan pemahaman kaum pendukung liberalisme hubungan internasional-, menjadi sebuah optimisme global akan terwujudnya tata dunia yang adil, damai, dan seimbang. Pada awalnya ide ini tak berjalan mulus dengan koyak-moyaknya kesepakatan perdamaian dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dengan meletusnya Perang Dunia Ke-II pada 1939-1945. Dalam perkembangannya, preseden buruk ini perlahan bisa ditepis melalui kemunculan dan eksistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai lembaga supranasional penerus LBB pasca Perang Dunia KeII, setidaknya sampai hari ini. Namun demikian, tak dimungkiri bahwa anasir realisme klasik warisan perang dunia masih kental mewarnai sepak terjang lembaga supranasional ini, terlebih lagi apabila menilik Dewan Keamanan PBB (DK PBB), salah satu lembaga paling strategis dan prestisius yang dimiliki. Sangat sulit untuk berekspektasi bahwa DK PBB -dengan fokus dan spesialisasi penanganan isu-isu perdamaian dan keamanan global-, mampu mewujudkan cita-cita tata dunia yang adil, damai, dan seimbang, apabila merujuk pada struktur, keanggotaan, hingga produk-produk organisasionalnya. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB keempat kalinya untuk periode 2019-2020 menjadi sebuah “harapan baru†untuk mengikis sedikit demi sedikit anasir realisme klasik dan hegemoni global negara-negara pemenang Perang Dunia Ke-II yang didapuk sebagai anggota tetap badan PBB tersebut. Pemerintah Indonesia dengan segala perangkat kebijakan luar negerinya sudah seyogianya merumuskan cetak biru yang jelas agar kepentingan nasional dan cita-cita perdamaian dunia sebagaimana yang termaktub dalam Preambul UUD NRI 1945 Alinea Ke-4 bisa diwujudkan secara konkret.